Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan teroris di Indonesia sudah mengadaptasi teknologi-teknologi maju. Bahkan sejak dulu teroris sudah menggunakan teknologi mutakhir.

“Dulu penggunaan telephon dapat melakukan pelatihan trigger atau detonator bom di Malaysia. Itu bisa dikatakan lebih dulu dari militer manapun di Asia Tenggara, jadi mereka sangat adaptif terhadap teknologi,” katanya kemarin di Jakarta.
Ia menambahkan dalam terorisme ada pembidangan-pembidangan sendiri. Al Chaidar mengatakan pernah ada pelajaran merakit komputer di Afghanistan. Selain itu banyak yang dilatih untuk mengenal sistem hardware dan software. “Saya kira mereka sudah sangat maju dan adaptif terutama terhadap teknologi informatika,” imbuhnya.
Pengamat Telematika, Abimanyu Wachjoewidajat menilai polisi bisa menelusuri orang yang melakukan terorisme di dunia maya. Penelusuran dapat dilakukan dengan melakukan pelacakan dari IP (Internet Protocol).
“Tapi kalau penyerangnya dari luar negeri akan sulit, karena polisi kan tidak ada akses ke pemilik server itu. Kalau pemilik server tidak memberikan akses, polisi tidak akan pernah tahu siapa pelakunya,” imbuhnya.
Wakil Ketua ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) M Salahuddin menilai penelusuran dapat dilakukan dengan memeriksa alamat IP dan identitas yang ada di situs. Teknik social engineering untuk memeriksa orang-orang yang aktif di situs dan mengamatinya.
Ia menjelaskan untuk situs yang bersifat terbuka, biasanya identitas disebutkan dengan terang-terangan. Misalnya saja dalam kasus situs Arrahman yang disangka teroris, identitasnya lengkap meskipun kontennya dianggap terorisme.
Namun ada situs yang bersifat media underground. Meskipun ada di permukaan tetapi situs ini misterius. “Siapa pengelola, dihosting di mana, orang-orangnya siapa saja itu tersembunyi, anonim. Kalau anonim tentunya punya tendensi kurang baik, nah yang seperti ini biasanya yang perlu ditelusuri,” kata Salahuddin.
Ia menambahkan polisi memiliki kemampuan untuk melakukan penelusuran, karena ini bukan hal pertama kali. Termasuk jika kasus terorismenya global, maka pihak counterpart akan memberikan bantuan untuk melakukan pengungkapan kalau itu di luar yuridiksi Indonesia. “Misalnya itu di Amerika bisa minta bantuan FBI,” katanya.
Al Chaidar menilai dunia maya merupakan medan yang juga menjadi wahana bagi teroris. Selain itu pelaku terorime adalah orang-orang yang menguasai teknologi.
“Bagi mereka lapangan perang itu cukup luas dan terdapat di mana-mana. Menurut mereka bagaimanapun itu harus dikuasai. Mereka itu boleh dikatakan pemimpin-pemimpin perang yang well-informed.” imbuhnya.
Ia menambahkan dalam terorisme ada pembidangan-pembidangan sendiri. Al Chaidar mengatakan pernah ada pelajaran merakit komputer di Afghanistan. Selain itu banyak yang dilatih untuk mengenal sistem hardware dan software. “Saya kira mereka sudah sangat maju dan adaptif terutama terhadap teknologi informatika,” imbuhnya.
Pengamat Telematika, Abimanyu Wachjoewidajat menilai polisi bisa menelusuri orang yang melakukan terorisme di dunia maya. Penelusuran dapat dilakukan dengan melakukan pelacakan dari IP (Internet Protocol).
“Tapi kalau penyerangnya dari luar negeri akan sulit, karena polisi kan tidak ada akses ke pemilik server itu. Kalau pemilik server tidak memberikan akses, polisi tidak akan pernah tahu siapa pelakunya,” imbuhnya.
Wakil Ketua ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) M Salahuddin menilai penelusuran dapat dilakukan dengan memeriksa alamat IP dan identitas yang ada di situs. Teknik social engineering untuk memeriksa orang-orang yang aktif di situs dan mengamatinya.
Ia menjelaskan untuk situs yang bersifat terbuka, biasanya identitas disebutkan dengan terang-terangan. Misalnya saja dalam kasus situs Arrahman yang disangka teroris, identitasnya lengkap meskipun kontennya dianggap terorisme.
Namun ada situs yang bersifat media underground. Meskipun ada di permukaan tetapi situs ini misterius. “Siapa pengelola, dihosting di mana, orang-orangnya siapa saja itu tersembunyi, anonim. Kalau anonim tentunya punya tendensi kurang baik, nah yang seperti ini biasanya yang perlu ditelusuri,” kata Salahuddin.
Ia menambahkan polisi memiliki kemampuan untuk melakukan penelusuran, karena ini bukan hal pertama kali. Termasuk jika kasus terorismenya global, maka pihak counterpart akan memberikan bantuan untuk melakukan pengungkapan kalau itu di luar yuridiksi Indonesia. “Misalnya itu di Amerika bisa minta bantuan FBI,” katanya.
Al Chaidar menilai dunia maya merupakan medan yang juga menjadi wahana bagi teroris. Selain itu pelaku terorime adalah orang-orang yang menguasai teknologi.
“Bagi mereka lapangan perang itu cukup luas dan terdapat di mana-mana. Menurut mereka bagaimanapun itu harus dikuasai. Mereka itu boleh dikatakan pemimpin-pemimpin perang yang well-informed.” imbuhnya.
Sumbeer : http://ictfiles.com/detail/fyi/2010/08/24/kemajuan_teknologi_teroris
0 komentar:
Posting Komentar